Aku, seperti biasa menegak
segelas kopi untuk menahan rasa kantuk dan lelah. Berteman dengan laptop yang
menyala dan baris- baris cooding yang aku tulis sejak kemarin. Pikiranku hanya
satu, itu kamu. Tapi, pekerjaan ini terlalu memenjarakanku, merantai dan
membelenggu dan tidak akan terlepas jika
aku tidak menyelesaikan kunci yang aku tempa terbuat dari coding –
coding dan logika matematika. Sekali – kali aku melirik handphone ku, satu
–satu nya penghubung kita. Menawarkan komunikasi tanpa batas, ruang dan waktu
maka aku membelinya dengan persetujuan kamu agar hubungan kita tetap berjalan
tanpa batas.
Jari – jari ku menari indah,
bunyi tik tik tik tik yang dihasilkan keyborad ku dan tarik kan nafas teratur
membuat irama dan terdengar sedikit berat. Keluhan, hal itu tertahan di
bibirku, karena aku tahu hanya tinggal selangkah lagi aku bisa menyelesaikannya
dan aku akan bisa memanjakanmu dengan bebas. Kucurahkan semua energi ku agar
aku sampai pada kita, aku bagai seorang maraton yang berlari dengan berseri –
seri menuju garis finish karena bayanganmu di pelupuk mataku.
Batasanku, aku yang hanya ingin tidur
dalam lelap sambil memikirkan kita, hanya 2 – 3 jam. Tergiur oleh nikmatnya
hawa ngantuk dan terbelenggu oleh rasa lelah. Tetap saja kita, aku ingin engkau
hadir dimimpiku tapi apa daya hanya coding – coding itu yang menari nari begitu
cantik dan logika itu yang menuju pada titik terang ketika aku istrahat. Mau
ku, aku memikirkan kamu, mau ku aku berharap ada kamu, tapi tidak semudah itu,
belenggu ini lebih menggoda untuk dilewati. Aku berharap kamu tetap menunggu,
berharap kamu mengirim beberapa pesan, berharap kamu memandang handphone mu dan
memilih aku kesayanganmu untuk dihubungi.
Sekali lagi mataku, pikiranku,
jariku, dan pesonaku hanyut dalam belenggu. Lelapku bagai membuka jalan dan
pikiranku terang oleh logika yang terbuka, aku terus mengetik melayang pada hal
– hal indah yang hanya aku dan pikiranku yang tahu. Tapi, tetap ada kita. Senyum
mu yang kulihat beberapa waktu lalu, ketenanganmu, dukunganmu dan semangatmu
membuat aku tetap diam walaupun belenggu ini begitu kuat. Aku tahu pasti, kamu
mengerti.
Hari ke – 3 dimana jaringan tidak
berteman padaku, mengirimkanmu pesan pagi – pagi sudah seperti rutinitas gosok
gigi dan mandi. Kali ini, pikiranku bukan tentang senyummu, tapi tentang
keadaanmu. Ingin aku meneleponmu, dan mendengar tawa serta semangatmu yang
seakan tidak pernah habis di pikiranku. Hanya, aku takut bukan tawa yang aku
dengar, tapi isak tangis karena anti body mu sudah menurun diserang oleh
ketidak mengertian. Ingin aku meminta
maaf karena keadaan, tapi pikiranku masih membutuhkan bekuan senyummu yang
melimpah, aku tidak mau semua terganti hanya dengan mendengar isakmu.
Malam hampir datang, omega merah
menggantikan birunya langit. Kulirik sebentar terkagum dengan pesona warna
merahnya. Cantik, sama cantiknya dengan dirimu. Handphone ku tetap diam
membisu, tanpa bunyi dan dering – dering. Hanya bayangan pesen singkat ada diotakku.
Kita telah sampai sejauh ini, tapi kemana kita sekarang.
Berat, malam ke -4. Aku tetap
tidak bergerak dalam penjara. Tetap memikirkan kita, tapi penuh dengan
kekhawatiran. Kamu, seperti bukan pujaanku yang biasanya. Teknologi sudah
menghianatiku, apa yang dia tawarkan tidak terjadi pada kita. Mungkin, kamu
sudah tidak mengerti cara menggunakannya, atau kamu sudah tidak memikirkan
kita. Hanya, kamu dipikiranmu.
Batasanku yang kedua, pikiran ini
sudah tidak terbendung. Menularkan hal ini pada jasmaniku. Suhu badanku
meningkat, dan pening dikepalaku. Kunciku telah selasai, tetapi ketika aku
membuka penjara dan belengguku aku menunggu sesuatu diluar sana yang tidak aku
ketahui. Sakit ini, kenapa datang ketika keinginan untuk kita sudah didepan
mata. Sakit ini, aku ingin berteriak dan mempersalahkannya. Hanya mendatangkan
ke akukan dalam ku.
Malam ketika aku tidak dapat
bergerak oleh sakit dan tidak berhasrat untuk memikirkanmu, karena ke akuan ini
muncul, dimana hasrat ingin diperhatikan terlalu tinggi. Handphone ku bergetar,
kamu disana mengirim pesan yang sudah aku tunggu selama 4 hari ini. Pikiranku
dengan khayalan keakuan berharap pesan singkat, mesra, dan perhatian. Sebelum
aku membukanya aku pejamkan mata dan berkhayal pesan yang kau sampaikan menentramkan
hati.
Khayalku sanggup membuat aku
tersipu dan menurunkan sedikit suhu badanku. Pikiranku hanya ini : “sayang,
maaf ya aku ga hubungi kamu kemarin, pulsaku habis. Gmna kabarnya? Gmna
kerjaannya? Sayang sehat kan?”. Ke aku an ku menginginkan aku ditembaki oleh
pertanyaan – pertanyaan kekhawatiran dan sudah tidak peduli akan menghilangnya
dia selama beberapa hari ini. Karena,
dengan adanya dia aku berhenti berpikir kecurigaan, dengan adanya dia aku
berhenti bertanya pertanyaan dan dengan adanya dia kekhawatiranku berhenti
seperti bejana yang bocor dan ditambal oleh tanah liat.
Kenyataan, aku intip pesan ini
membacanya : “Sayang, lebih baik kita break aja dulu ya. Kita sama – sama
berdoa, apakah kita memang masih saling membutuhkan?? Apa sebenarnya kamu masih
membutuhkan aku?” . Dunia khayalanku sirna, diganti dengan tetesan jeruk yang
dia siram pada luka. Sakit, bukan hanya jasmaniku. Ke akuan ku bangkit kembali,
marah karena dia baru ada kabar. Keakuanku bersama diriku lagi, marah karena
tidak diperhatikan. Keakuan ku menuntunku, dan ingin bersama diriku lagi tanpa
kesakitan. Maafkan aku diriku karena telah percaya, karena telah mencinta.