Senin, 02 Februari 2015

Saat Aku dan Kamu Muncul



Aku, seperti biasa menegak segelas kopi untuk menahan rasa kantuk dan lelah. Berteman dengan laptop yang menyala dan baris- baris cooding yang aku tulis sejak kemarin. Pikiranku hanya satu, itu kamu. Tapi, pekerjaan ini terlalu memenjarakanku, merantai dan membelenggu dan tidak akan terlepas jika  aku tidak menyelesaikan kunci yang aku tempa terbuat dari coding – coding dan logika matematika. Sekali – kali aku melirik handphone ku, satu –satu nya penghubung kita. Menawarkan komunikasi tanpa batas, ruang dan waktu maka aku membelinya dengan persetujuan kamu agar hubungan kita tetap berjalan tanpa batas.

Jari – jari ku menari indah, bunyi tik tik tik tik yang dihasilkan keyborad ku dan tarik kan nafas teratur membuat irama dan terdengar sedikit berat. Keluhan, hal itu tertahan di bibirku, karena aku tahu hanya tinggal selangkah lagi aku bisa menyelesaikannya dan aku akan bisa memanjakanmu dengan bebas. Kucurahkan semua energi ku agar aku sampai pada kita, aku bagai seorang maraton yang berlari dengan berseri – seri menuju garis finish karena bayanganmu di pelupuk mataku.

Batasanku, aku yang hanya ingin tidur dalam lelap sambil memikirkan kita, hanya 2 – 3 jam. Tergiur oleh nikmatnya hawa ngantuk dan terbelenggu oleh rasa lelah. Tetap saja kita, aku ingin engkau hadir dimimpiku tapi apa daya hanya coding – coding itu yang menari nari begitu cantik dan logika itu yang menuju pada titik terang ketika aku istrahat. Mau ku, aku memikirkan kamu, mau ku aku berharap ada kamu, tapi tidak semudah itu, belenggu ini lebih menggoda untuk dilewati. Aku berharap kamu tetap menunggu, berharap kamu mengirim beberapa pesan, berharap kamu memandang handphone mu dan memilih aku kesayanganmu untuk dihubungi.

Sekali lagi mataku, pikiranku, jariku, dan pesonaku hanyut dalam belenggu. Lelapku bagai membuka jalan dan pikiranku terang oleh logika yang terbuka, aku terus mengetik melayang pada hal – hal indah yang hanya aku dan pikiranku yang tahu. Tapi, tetap ada kita. Senyum mu yang kulihat beberapa waktu lalu, ketenanganmu, dukunganmu dan semangatmu membuat aku tetap diam walaupun belenggu ini begitu kuat. Aku tahu pasti, kamu mengerti.

Hari ke – 3 dimana jaringan tidak berteman padaku, mengirimkanmu pesan pagi – pagi sudah seperti rutinitas gosok gigi dan mandi. Kali ini, pikiranku bukan tentang senyummu, tapi tentang keadaanmu. Ingin aku meneleponmu, dan mendengar tawa serta semangatmu yang seakan tidak pernah habis di pikiranku. Hanya, aku takut bukan tawa yang aku dengar, tapi isak tangis karena anti body mu sudah menurun diserang oleh ketidak mengertian.  Ingin aku meminta maaf karena keadaan, tapi pikiranku masih membutuhkan bekuan senyummu yang melimpah, aku tidak mau semua terganti hanya dengan mendengar isakmu.

Malam hampir datang, omega merah menggantikan birunya langit. Kulirik sebentar terkagum dengan pesona warna merahnya. Cantik, sama cantiknya dengan dirimu. Handphone ku tetap diam membisu, tanpa bunyi dan dering – dering. Hanya bayangan pesen singkat ada diotakku. Kita telah sampai sejauh ini, tapi kemana kita sekarang.

Berat, malam ke -4. Aku tetap tidak bergerak dalam penjara. Tetap memikirkan kita, tapi penuh dengan kekhawatiran. Kamu, seperti bukan pujaanku yang biasanya. Teknologi sudah menghianatiku, apa yang dia tawarkan tidak terjadi pada kita. Mungkin, kamu sudah tidak mengerti cara menggunakannya, atau kamu sudah tidak memikirkan kita. Hanya, kamu dipikiranmu.

Batasanku yang kedua, pikiran ini sudah tidak terbendung. Menularkan hal ini pada jasmaniku. Suhu badanku meningkat, dan pening dikepalaku. Kunciku telah selasai, tetapi ketika aku membuka penjara dan belengguku aku menunggu sesuatu diluar sana yang tidak aku ketahui. Sakit ini, kenapa datang ketika keinginan untuk kita sudah didepan mata. Sakit ini, aku ingin berteriak dan mempersalahkannya. Hanya mendatangkan ke akukan dalam ku.

Malam ketika aku tidak dapat bergerak oleh sakit dan tidak berhasrat untuk memikirkanmu, karena ke akuan ini muncul, dimana hasrat ingin diperhatikan terlalu tinggi. Handphone ku bergetar, kamu disana mengirim pesan yang sudah aku tunggu selama 4 hari ini. Pikiranku dengan khayalan keakuan berharap pesan singkat, mesra, dan perhatian. Sebelum aku membukanya aku pejamkan mata dan berkhayal pesan yang kau sampaikan menentramkan hati.

Khayalku sanggup membuat aku tersipu dan menurunkan sedikit suhu badanku. Pikiranku hanya ini : “sayang, maaf ya aku ga hubungi kamu kemarin, pulsaku habis. Gmna kabarnya? Gmna kerjaannya? Sayang sehat kan?”. Ke aku an ku menginginkan aku ditembaki oleh pertanyaan – pertanyaan kekhawatiran dan sudah tidak peduli akan menghilangnya dia selama beberapa hari ini.  Karena, dengan adanya dia aku berhenti berpikir kecurigaan, dengan adanya dia aku berhenti bertanya pertanyaan dan dengan adanya dia kekhawatiranku berhenti seperti bejana yang bocor dan ditambal oleh tanah liat.

Kenyataan, aku intip pesan ini membacanya : “Sayang, lebih baik kita break aja dulu ya. Kita sama – sama berdoa, apakah kita memang masih saling membutuhkan?? Apa sebenarnya kamu masih membutuhkan aku?” . Dunia khayalanku sirna, diganti dengan tetesan jeruk yang dia siram pada luka. Sakit, bukan hanya jasmaniku. Ke akuan ku bangkit kembali, marah karena dia baru ada kabar. Keakuanku bersama diriku lagi, marah karena tidak diperhatikan. Keakuan ku menuntunku, dan ingin bersama diriku lagi tanpa kesakitan. Maafkan aku diriku karena telah percaya, karena telah mencinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar